Selasa, 24 Februari 2009

BAHAYA MEROKOK BAGI ANAK SEKOLAH


Oleh
Fatmawati

Ada yang aneh dengan bangsa ini ketika berbicara rokok. Jika bangsa-bangsa lain menunjukkan tren menurun konsumsinya pada rokok, Indonesia justru memperlihatkan kenaikan.
Lebih celaka lagi, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan anggaran kesehatan per kapita. Konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok atau urutan kelima setelah RRC (1.679 miliar batang), AS (480 miliar), Jepang (230 miliar), dan Rusia (230 miliar).
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi rokok di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 44,1% dan jumlah perokok mencapai 70% penduduk Indonesia. Yang lebih menyedihkan lagi, 60% di antara perokok adalah kelompok berpenghasilan rendah (Susenas 1995 dan 2001). Tingginya konsumsi merokok dipercaya bakal menimbulkan implikasi negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas kesehatan, tetapi juga menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi.
Rokok memang bak buah simalakama. Dari segi ekonomi, rokok memang memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemasukan negara. Tiap tahunnya, pemerintah mendapat masukan dari pos penerimaan cukai rokok dan minuman keras tak kurang dari sebesar Rp 27 triliun.
Angka ini menyumbang 98% penerimaan cukai negara sehingga urusan kesehatan serta menyelamatkan anak negeri sering tergilas oleh setoran puluhan triliun rupiah tersebut.
Sesungguhnya negeri ini telah menjadi korban pasar internasional. Produsen rokok terbesar dunia, yakni dari negara-negara maju, memasarkan produknya di negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia).
Pemasarannya pun juga dibarengi dengan strategi propaganda untuk menarik konsumen. Negara-negara Eropa dan AS dalam 10 tahun terakhir memberlakukan berbagai kebijakan untuk menekan jumlah pecandu rokok.
Mereka juga memberlakukan pembatasan terhadap iklan rokok. Kebijakan itulah yang kemudian mendorong pabrik-pabrik rokok Barat memasarkan produknya di negara-negara dunia ketiga.

Diakses Anak-anak
Propaganda dan iklan rokok dikemas sedemikian menarik. Secara global, industri tembakau seluruh dunia mengeluarkan lebih dari US$ 8 miliar setiap tahun untuk iklan dan pemberian sponsor sebagai ajang utama promosi.
Kegiatan promosi melalui kegiatan remaja mereka percaya secara tidak langsung dapat mendorong kaum muda untuk bereksperimen dengan tembakau dan mencoba merokok. "Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok,” demikian tulis sebuah produsen rokok internasional sebagaimana dikutip jurnal WHO.
Sebetulnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2003 telah melarang pembagian produk contoh secara gratis. Namun fakta di lapangan, pembagian kupon diskon dan penjualan rokok batangan masih sering terjadi.
Tentu ini memperbesar akses remaja dan anak terhadap rokok, apalagi hingga kini tak sedikit media cetak atau elektronik yang masih enggan mempromosikan pesan-pesan pengendalian tembakau karena khawatir akan kehilangan pendapatan dari iklan rokok. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan pemberian informasi akurat bagi konsumen.
Permasalahan menjadi kian mengkhawatirkan tatkala barang ini dari tahun ke tahun semakin mudah diakses anak-anak. Survei yang dilakukan Universitas Padjadjaran (1978) melaporkan usia pertama kali merokok pada anak kala itu adalah 12 tahun.
Sebelas tahun kemudian, penelitian Universitas Airlangga (1989) melaporkan fakta baru bahwa angka 12 itu telah bergerak ke angka delapan tahun. Terbaru, penelitian yang dilakukan bersama antara Universitas Andalas, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Padjajaran, usia anak pertama kali merokok telah menyentuh angka tujuh tahun.
Di Indonesia, perusahaan rokok besar berlomba-lomba memberikan sponsor pada kegiatan olahraga, acara remaja, dan konser musik. Dalam promosinya, rokok diasosiasikan dengan keberhasilan dan kebahagiaan. Peningkatan drastis konsumsi tembakau para remaja terjadi pada 2001 yang mencapai 24,2% dari semula 13,7% pada 1995. Persentase peningkatan itu terjadi pada remaja laki-laki 15-19 tahun yang kemudian menjadi perokok tetap.
Jika kita sadari bahaya rokok sebagaimana dilansir Badan Proteksi Lingkungan (EPA) Amerika Serikat yang memastikan bahwa asap rokok memuat 4.000 senyawa kimia, 200 di antaranya toksik (beracun), 43 di antaranya pemicu kanker, dan secara global, konsumsi rokok membunuh satu orang setiap 10 detik.
WHO pun memperkirakan bahwa pada 2020 penyakit berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan utama di banyak negara, bahkan kebiasaan merokok dianggap menjadi entry point pada penyalahgunaan narkotik.

Kurikulum Sekolah
Yang juga harus diperhatikan adalah para perokok pasif, yaitu orang yang tidak merokok tapi tercemar oleh asap rokok. Pencemaran tersebut dapat terjadi dalam rumah, ruangan kantor, kendaraan, dan tempat umum lainnya.
Survei membuktikan !ebih dari 90% perokok aktif mengaku merokok dalam rumah ketika bersama anggota keluarga, sehingga sekitar 70% penduduk Indonesia berumur 0-14 tahun telah terpapar asap rokok sejak lahir (perokok pasif). Ini menunjukkan betapa besarnya prevalensi perokok pasif dengan akibat yang lebih parah lagi.
Untuk itu, berbagai langkah perlu segera dilakukan pemerintah, baik upaya penanganan terhadap zona perokok aktif maupun pasif. Langkah-langkah tersebut bisa ditempuh dengan: (1) membuat dan memasukkan materi bahaya merokok pada kurikulum di sekolah dasar dan menengah, sekolah kedokteran atau sekolah paramedis; (2) membuat kegiatan yang mendukung antirokok dan bahaya merokok pada usia sekolah. (3)membangkitkan kesadaran tentang bahaya merokok, kecanduan rokok, dampak sosial ekonomi akibat rokok pada publik (terutama anak-anak dan remaja); (4) melakukan counter marketing guna mengurangi atau meniadakan keterlibatan industri rokok, terutama pada usia anak dan remaja.
Untuk itu, ketentuan publik tentang larangan merokok bagi anak perlu segera disusun. Setidaknya memasukkan substansi larangan anak merokok dalam rencana aturan tersebut.
Hingga saat ini, aturan spesifik melarang anak merokok dan membeli rokok serta sanksi bagi pihak penjual atau pemberi rokok pada anak belum ada. Kita memang sudah punya berbagai peraturan perundangan tentang perlindungan anak, tapi tidak ada satu ketentuan pun yang secara spesifik menyebutkan tentang larangan anak merokok.
Untuk menolong perokok pasif dapat diambil langkah-langkah be-rikut: (1) pengenalan dan pemberlakukan daerah bebas rokok di berbagai tempat; (2) pemberlakukan daerah dilarang merokok di institusi sekolah dan institusi kesehatan; (3) melakukan pendidikan pada publik tentang bahaya perokok pasif.
Yang juga perlu adalah larangan iklan rokok pada media elektronik maupun nonelektronik baik secara langsung atau tidak langsung; membatasi promosi dan penguatan merek atau sponsor pada kegiatan olah raga maupun kegiatan publik lain baik yang bersifat lokal maupun internasional.

Penulis adalah dosen Politeknik Kesehatan Nanggroe Aceh Darussalam.







Copyright © Sinar Harapan 2003